Di Balik Konflik Papua: Memahami Perjalanan Sejarah yang Membentuknya

3 min read

Berita Bijak – Senin (14/07/2025). Konflik yang terjadi di Papua merupakan isu kompleks dengan akar sejarah yang panjang dan mendalam. Untuk memahami situasi saat ini, penting bagi publik untuk melihat kembali rangkaian peristiwa kunci yang membentuk lintasan sejarah wilayah tersebut hingga menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Artikel ini bertujuan untuk menyajikan kronologi sejarah secara faktual dan netral, berdasarkan dokumen-dokumen sejarah yang diakui dan catatan peristiwa yang terekam secara luas.

1. Latar Belakang: Akhir Era Kolonial

Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 1945, status wilayah Papua (saat itu Nugini Belanda) menjadi titik perdebatan. Pemerintah Indonesia berpandangan bahwa Papua adalah bagian dari wilayah Hindia Belanda yang seharusnya masuk ke dalam NKRI. Di sisi lain, Pemerintah Belanda mempertahankan wilayah tersebut dan mulai mempersiapkannya untuk menentukan nasib sendiri secara terpisah.

Perbedaan pandangan ini menjadi dasar sengketa diplomatik dan konfrontasi antara Indonesia dan Belanda selama lebih dari satu dekade.

2. Perjanjian New York 1962: Jalan Tengah Diplomatik

Untuk mencegah eskalasi konflik di tengah Perang Dingin, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui mediasi Amerika Serikat memfasilitasi Perjanjian New York pada 15 Agustus 1962. Perjanjian ini menjadi landasan hukum internasional bagi proses selanjutnya.

Isi pokok dari perjanjian tersebut adalah:

  • Belanda menyerahkan administrasi Papua kepada Otoritas Eksekutif Sementara PBB (UNTEA).
  • UNTEA kemudian menyerahkan administrasi kepada Indonesia pada 1 Mei 1963.
  • Indonesia diberi mandat untuk menyelenggarakan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) atau Act of Free Choice sebelum akhir tahun 1969.

3. PEPERA 1969: Momen Penentuan yang Diakui PBB

PEPERA dilaksanakan pada Juli hingga Agustus 1969 sebagai pemenuhan kewajiban Indonesia dalam Perjanjian New York. Pelaksanaannya tidak menggunakan sistem pemungutan suara langsung (“satu orang, satu suara”), melainkan melalui sistem perwakilan.

Sekitar 1.025 perwakilan dari dewan-dewan musyawarah di seluruh Papua memberikan suaranya. Hasil resmi dari PEPERA secara bulat menyatakan bahwa rakyat Papua memilih untuk tetap berada dalam naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Hasil ini kemudian dibawa ke Sidang Umum PBB dan diterima melalui Resolusi 2504 pada 19 November 1969, yang mengesahkan pengalihan administrasi Papua kepada Indonesia. Secara hukum internasional dan konstitusi Indonesia, proses ini dianggap final dan mengukuhkan Papua sebagai bagian sah dari NKRI.

4. Dampak dan Munculnya Gerakan Perlawanan

Meskipun telah disahkan PBB, metode pelaksanaan PEPERA yang menggunakan sistem perwakilan menuai kritik dan ketidakpuasan dari sebagian kalangan masyarakat Papua. Mereka merasa proses tersebut tidak sepenuhnya merepresentasikan suara seluruh rakyat.

Rasa kekecewaan inilah yang tercatat dalam sejarah sebagai pemicu utama munculnya gerakan-gerakan perlawanan politik dan bersenjata yang menolak hasil PEPERA, seperti Organisasi Papua Merdeka (OPM).

5. Era Orde Baru hingga Reformasi: Otonomi Khusus

Pada masa Orde Baru, pendekatan keamanan menjadi strategi utama pemerintah dalam menjaga stabilitas di Papua. Di sisi lain, pemerintah juga memulai pembangunan infrastruktur dan ekonomi, termasuk pembukaan sumber daya alam.

Memasuki era Reformasi, pemerintah Indonesia mengambil langkah baru untuk merespons aspirasi dan dinamika sosial di Papua. Pada tahun 2001, lahirlah Undang-Undang Nomor 21 tentang Otonomi Khusus (Otsus) bagi Provinsi Papua. Otsus memberikan kewenangan yang lebih luas kepada pemerintah daerah Papua dalam mengatur urusan internalnya serta alokasi dana yang signifikan untuk percepatan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Kesimpulan

Sejarah integrasi Papua ke dalam Indonesia adalah sebuah proses yang kompleks dan multi-dimensi, yang melibatkan diplomasi internasional, keputusan politik, serta dinamika sosial di tengah masyarakat. Secara yuridis, status Papua sebagai bagian dari NKRI telah final melalui proses yang diakui oleh PBB.

Namun, pemahaman terhadap adanya perbedaan pandangan historis, terutama terkait pelaksanaan PEPERA, serta tantangan dalam implementasi Otonomi Khusus, menjadi kunci bagi semua pihak untuk dapat membangun dialog dan mencari solusi damai demi masa depan Papua yang sejahtera dalam bingkai keindonesiaan.

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours