Berita Bijak – DIKARI, Jumat (02/08/2025). Coba pikirkan: berapa kali Anda melihat hoaks viral di grup WhatsApp keluarga? Atau mungkin, menyaksikan toxic relationship di film justru dianggap romantis? Fenomena mengamini dan bahkan meromantisasi hal yang jelas keliru kian mengkhawatirkan. Bukan lagi sekadar opini, data dan analisis menunjukkan tren ini nyata. Mengapa kita jadi lebih rentan terhadap ilusi?
Ruang Gema Digital dan Polarisasi: Algoritma media sosial seperti pedang bermata dua. Riset dari Pew Research Center menunjukkan bagaimana polarisasi daring (online) berkorelasi kuat dengan polarisasi pandangan politik. Algoritma yang dirancang untuk meningkatkan engagement justru mengurasi informasi yang sesuai dengan keyakinan kita, menciptakan “ruang gema” yang memvalidasi pandangan, betapapun kelirunya. Dalam gelembung ini, disinformasi mudah berkembang tanpa filter yang efektif.
Daya Tarik Emosi vs. Logika: Otak manusia cenderung lebih mudah terpikat oleh narasi emosional dan sederhana. Daniel Kahneman, dalam bukunya “Thinking, Fast and Slow,” menjelaskan bagaimana sistem berpikir cepat (emosional) seringkali mengambil alih sistem berpikir lambat (logis). Hoaks dan teori konspirasi, yang kerap bermain dengan ketakutan atau harapan, memanfaatkan celah ini. Penelitian dari MIT Sloan School of Management bahkan menemukan bahwa berita palsu menyebar jauh lebih cepat dan luas di Twitter dibandingkan berita benar, seringkali karena daya tarik emosionalnya.
Erosi Kepercayaan dan Pencarian Alternatif: Ketika kepercayaan terhadap institusi mapan menurun, masyarakat mencari “kebenaran” di tempat lain. Survei global dari Edelman Trust Barometer secara konsisten menunjukkan penurunan kepercayaan terhadap media, pemerintah, dan bahkan lembaga keagamaan di berbagai negara. Kekosongan ini diisi oleh sumber-sumber informasi alternatif, yang tak jarang tidak kredibel dan justru menyebarkan misinformasi.
Pengaruh Budaya Pop yang Mendistorsi: Budaya pop punya andil besar dalam membentuk persepsi. Penelitian tentang representasi hubungan romantis di media seringkali menyoroti glorifikasi perilaku posesif atau manipulatif. Tayangan yang menampilkan karakter “anti-hero” yang karismatik namun bermoralCompromised bisa secara halus mengaburkan batas antara benar dan salah. Efek “psikopat karismatik” yang sering dieksplorasi dalam film dan serial, misalnya, dapat membuat perilaku berbahaya tampak menarik.
Kurangnya Literasi Informasi dan Bias Kognitif: Kemampuan berpikir kritis dan literasi informasi yang rendah menjadi lahan subur bagi berkembangnya kesalahan. Confirmation bias, kecenderungan untuk mencari informasi yang mengkonfirmasi keyakinan yang sudah ada, juga berperan besar. Kita lebih mungkin mempercayai informasi yang sesuai dengan pandangan kita, bahkan jika sumbernya meragukan. Studi tentang psikologi kognitif telah berulang kali menunjukkan betapa kuatnya bias ini dalam memengaruhi pengambilan keputusan dan penerimaan informasi.
Kesimpulan Ringkas:
Kecenderungan kita untuk lebih mudah percaya dan bahkan meromantisasi kesalahan adalah produk kompleks dari era digital, psikologi manusia, dan pengaruh budaya. Polarisasi daring menciptakan ruang gema, narasi emosional lebih menarik daripada logika, erosi kepercayaan mendorong pencarian “kebenaran” alternatif, budaya pop terkadang mendistorsi realitas, dan bias kognitif memperkuat keyakinan yang salah. Memahami faktor-faktor ini adalah langkah awal untuk menumbuhkan kesadaran kritis dan kembali memprioritaskan kebenaran di atas ilusi yang memikat.
+ There are no comments
Add yours