Berita Bijak – Nasional, Kamis (07/08/2025). Penangkapan lima pemain judi online di Bantul yang membobol sistem bandar menjadi sebuah studi kasus menarik dalam perang melawan perjudian daring di Indonesia. Kasus ini, di mana sang penyelenggara aktivitas ilegal justru melapor ke polisi, bukan lagi fenomena tunggal. Ini adalah pola yang membuka strategi baru bagi aparat penegak hukum.
Sementara kelima pemain itu kini menghadapi jerat pidana UU ITE dengan ancaman 8 tahun penjara, pertanyaan yang lebih besar mengemuka: bagaimana nasib sang bandar? Analisis dari berbagai sumber menunjukkan bahwa laporan ini kemungkinan besar adalah awal dari akhir bagi operasional mereka.
Skala Masif dan Aliran Dana Triliunan
Untuk memahami konteksnya, penting untuk melihat skala masif judi online di Indonesia. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) secara konsisten melaporkan pemblokiran jutaan konten judi online setiap tahunnya. Namun, langkah ini ibarat menebas kepala hidra; satu diblokir, seribu lainnya muncul.
Data yang lebih mengkhawatirkan datang dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Lembaga ini telah berulang kali mengungkap bahwa perputaran uang dari judi online di Indonesia mencapai ratusan triliun rupiah per tahun. Sebagian besar dari dana raksasa ini dialirkan ke rekening-rekening di luar negeri, terutama di negara-edegara kawasan Asia Tenggara yang menjadi surga bagi operator judi.
“Aliran dana yang masif dan lari ke luar negeri ini menjadi tantangan utama. Para bandar utama tidak berada di sini,” ujar seorang sumber penegak hukum dalam sebuah diskusi terpisah mengenai pemberantasan judi online.
Dilema Yurisdiksi dan Strategi Intelijen
Tantangan utama yang dihadapi Bareskrim Polri dan unit siber di daerah adalah yurisdiksi. Para bandar besar sengaja menempatkan infrastruktur fisik dan server mereka di luar negeri. Pakar keamanan siber sering menekankan bahwa operator utama berada di negara seperti Kamboja, Filipina, atau Myanmar, di luar jangkauan hukum langsung Indonesia.
Di sinilah kasus seperti di Bantul menjadi sangat berharga. Ketika seorang bandar atau perwakilannya membuat laporan polisi di Indonesia, mereka secara sukarela memberikan “peta” kepada aparat.
“Ini adalah contoh klasik ‘senjata makan tuan’,” jelas seorang ahli hukum pidana dari Universitas Gadjah Mada (UGM) dalam analisisnya terhadap fenomena serupa. “Secara de jure (menurut hukum), bandar memang berhak melapor sebagai korban kejahatan siber sesuai UU ITE. Namun, secara de facto (pada kenyataannya), ia sedang menyerahkan data intelijen krusial kepada lawannya.”
Pintu Masuk Penyelidikan Pencucian Uang
Informasi yang didapat polisi dari laporan bandar—seperti nama situs, nomor rekening yang digunakan untuk menampung kerugian, atau kontak perwakilan—adalah pintu masuk untuk penyelidikan yang jauh lebih besar.
Unit siber dan reserse kriminal akan bekerja sama dengan PPATK untuk melacak aliran dana tersebut. Penyelidikan tidak akan berhenti pada tindak pidana perjudian (Pasal 303 KUHP), tetapi akan diperluas ke Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Dengan UU TPPU, aparat dapat membekukan aset dan menelusuri siapa saja yang menerima aliran dana haram tersebut, baik di dalam maupun di luar negeri melalui kerja sama internasional.
Kesimpulan: Kasus penangkapan lima pemain di Bantul adalah puncak gunung es yang terlihat. Di bawah permukaan, laporan dari sang bandar telah memicu alarm bagi unit-unit siber dan intelijen keuangan. Mereka mungkin berhasil menjebloskan lima “peretas” ke penjara, tetapi tanpa disadari, mereka telah mengundang penegak hukum untuk mengintip dan pada akhirnya membongkar jaringan mereka yang lebih besar.
Bagi kepolisian, ini bukan lagi sekadar kasus peretasan biasa, melainkan sebuah umpan intelijen yang disajikan di atas piring perak. Pertanyaannya bukan lagi apakah sang bandar akan ditindak, melainkan kapan.
+ There are no comments
Add yours