Dua Rel yang Tak Pernah Bertemu: Mengapa Jurang si Kaya dan si Miskin Semakin Lebar

4 min read

Berita Bijak – Dialog Akar, Jumat (11/07/2025). Di tengah gemerlapnya gedung-gedung pencakar langit di kota besar, pemandangan sebuah mobil mewah Eropa yang terjebak macet di samping pedagang asongan yang bersimbah peluh adalah sebuah ironi yang kita saksikan setiap hari. Keduanya berada di jalan yang sama, namun seolah berjalan di atas dua rel kereta yang berbeda, yang terus bergerak maju namun tak pernah bertemu. Fenomena ini lebih dari sekadar pemandangan; ini adalah cerminan dari sebuah realitas global dan nasional yang kian meresahkan: yang kaya cenderung semakin kaya, dan yang miskin semakin sulit untuk beranjak dari posisinya.

Pertanyaan mendasarnya bukanlah tentang siapa yang bekerja lebih keras. Ini adalah pertanyaan tentang sistem, tentang akses, dan tentang sebuah siklus yang secara inheren menguntungkan sebagian kelompok dan menjebak sebagian lainnya. Untuk memahaminya, kita perlu membedah kedua rel tersebut.

Rel Pertama: Eskalator Kekayaan Kelompok Atas

Bagi mereka yang berada di puncak piramida ekonomi, kekayaan bekerja seperti eskalator yang terus bergerak naik. Titik berangkat mereka bukanlah nol, melainkan modal—sebuah keuntungan fundamental yang menjadi mesin pelipat ganda kekayaan. Mekanisme di balik eskalator ini terbangun dari beberapa pilar utama.

Pilar pertama dan yang terkuat adalah akumulasi modal. Sederhananya, uang melahirkan uang. Dengan modal yang dimiliki, mereka dapat berinvestasi di properti yang harganya terus meroket, saham yang memberikan dividen, atau mendanai bisnis baru yang potensial. Aset-aset ini tidak hanya memberikan pendapatan pasif, tetapi nilainya juga terus membengkak seiring waktu.

Eskalator ini bergerak lebih cepat dengan adanya akses mudah ke kredit murah. Seorang konglomerat dapat dengan mudah memperoleh pinjaman miliaran rupiah dengan bunga rendah untuk ekspansi bisnis, sementara seorang pedagang kecil harus berjuang keras untuk mendapatkan pinjaman beberapa juta saja.

Lebih dari sekadar modal finansial, mereka juga memiliki modal sosial: jaringan dan koneksi. Lingkaran pergaulan mereka adalah sumber informasi peluang bisnis dan kolaborasi strategis yang tak ternilai. Keunggulan ini kemudian diwariskan ke generasi berikutnya melalui pendidikan premium, menciptakan lingkaran elite yang sulit ditembus dan meregenerasi kekayaan secara turun-temurun.

Rel Kedua: Tangga Licin Kelompok Bawah

Di sisi lain, bagi kelompok miskin, perjalanan ekonomi mereka bukanlah eskalator, melainkan sebuah tangga yang curam dan licin. Mereka terperangkap dalam apa yang disebut “lingkaran setan kemiskinan”. Penghasilan yang didapat dari pekerjaan berupah rendah sering kali habis hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar: makan, sewa rumah kontrakan, dan transportasi. Tidak ada ruang tersisa untuk menabung, membeli aset, apalagi berinvestasi.

Mereka juga sangat rentan terhadap guncangan. Satu anggota keluarga yang sakit parah, kehilangan pekerjaan secara tiba-tiba, atau bahkan kenaikan harga beras yang signifikan, bisa langsung membuat mereka tergelincir jatuh. Tanpa tabungan atau dana darurat, pilihan mereka sering kali jatuh pada pinjaman online ilegal atau rentenir, yang bunganya justru mencekik dan menjerat mereka lebih dalam ke jurang utang.

Akses terhadap pendidikan dan layanan kesehatan berkualitas pun menjadi sebuah kemewahan. Meskipun gratis, kualitas yang didapat sering kali timpang, membuat mereka sulit bersaing. Tanpa modal dan jaringan, pintu menuju peluang yang lebih baik seolah selalu tertutup rapat.

Dua Sisi dari Satu Koin

Penting untuk dipahami bahwa kedua rel ini bukanlah fenomena yang terpisah. Keduanya adalah bagian dari satu sistem yang sama. Ketika kelompok atas memborong properti sebagai investasi, harga tanah dan rumah meroket, membuat kepemilikan rumah menjadi mimpi yang semakin mustahil bagi mereka yang berpenghasilan pas-pasan. Ketika kebijakan ekonomi lebih memihak pada pemilik modal besar, nasib jutaan pekerja berupah kecil sering kali terabaikan.

Membiarkan jurang ini semakin lebar bukan hanya masalah ekonomi, tetapi juga masalah keadilan sosial dan stabilitas sebuah bangsa. Untuk memutus rantai ini, diperlukan intervensi kebijakan yang berani dan berpihak pada kesetaraan: mulai dari sistem pajak yang lebih adil, peningkatan masif pada kualitas pendidikan dan kesehatan publik, kemudahan akses modal bagi UMKM, hingga jaring pengaman sosial yang kuat.

Karena pada akhirnya, pertanyaan yang harus kita jawab bukan lagi “mengapa ini terjadi?”, melainkan “apa yang akan kita lakukan untuk memperbaikinya?”.

Ini adalah DIKARI (Dialog Akar), sebuah artikel yang membahas tentang suara minor yang jarang sekali terdengar. Mari berbijaksana dan Ber-DIKARI!

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours