Berita Bijak – DIKARI, Jumat (08/08/2025). Pernahkah Anda merasa, setelah mencapai sebuah target yang Anda dambakan—entah itu promosi jabatan, membeli gawai baru, atau mencapai angka tertentu di media sosial—rasa puas yang datang hanya sekejap? Tak lama kemudian, muncul lagi target baru, keinginan “satu lagi”, pencapaian berikutnya yang harus diraih.
Kita hidup dalam sebuah narasi besar yang membisikkan—bahkan meneriakkan—kata “lebih”. Lebih banyak, lebih cepat, lebih baik. Dari kecil kita diajarkan untuk bermimpi setinggi langit, untuk tidak pernah puas. Ambisi adalah bahan bakar kemajuan.
Namun, dalam dialog sunyi di dalam diri, sebuah pertanyaan akar sering kali muncul tanpa diundang: Kapan sebenarnya cukup? Di manakah garis antara ambisi yang sehat dan pengejaran tanpa akhir yang justru merampas kedamaian? Inilah Dialog Akar kita hari ini.
Mesin Hasrat yang Tak Pernah Padam: Budaya “Hustle” dan Tiang Gawang yang Terus Bergeser
Kita terjebak dalam apa yang oleh psikolog disebut “Hedonic Treadmill” atau “treadmill hedonis”. Seperti berlari di atas treadmill, secepat apa pun kita berlari (mencapai tujuan), kita tetap berada di tempat yang sama secara emosional. Kebahagiaan dari sebuah pencapaian bersifat sementara, dan kita dengan cepat beradaptasi, lalu menetapkan standar baru yang lebih tinggi.
Media sosial memperparah ini. Kita tidak lagi membandingkan diri dengan tetangga, tapi dengan seluruh dunia. Muncul tekanan untuk memiliki “passion project”, “side hustle”, dan portofolio kehidupan yang sempurna. Diam atau merasa puas sering kali disalahartikan sebagai kemalasan atau kegagalan.
Bahaya dari “Cukup” yang Tidak Terdefinisi
Masalah terbesarnya adalah: sebagian besar dari kita tidak pernah secara sadar mendefinisikan apa arti “cukup” bagi diri kita sendiri.
- Secara Finansial: Berapa banyak uang yang benar-benar cukup untuk hidup nyaman sesuai nilai-nilai Anda, bukan sekadar untuk menyaingi gaya hidup orang lain?
- Secara Karier: Posisi apa yang cukup untuk memberi Anda kepuasan kerja dan keseimbangan hidup, tanpa harus terus menerus mengejar puncak piramida korporat?
- Secara Personal: Pencapaian apa yang cukup untuk membuat Anda merasa berharga, tanpa validasi eksternal yang tak ada habisnya?
Tanpa definisi ini, “cukup” menjadi fatamorgana. Sebuah cakrawala yang menjauh setiap kali kita melangkah mendekatinya.
“Cukup” Bukanlah Akhir dari Pertumbuhan, Melainkan Awal dari Intensi
Inilah kesalahpahaman terbesar. Mendefinisikan “cukup” bukan berarti Anda berhenti bertumbuh, menyerah, atau menjadi pribadi yang pasif. Sebaliknya, ini adalah sebuah tindakan keberanian dan kesadaran diri yang radikal.
Ketika Anda tahu titik “cukup” Anda, Anda membebaskan diri dari perlombaan tikus (rat race). Anda bisa mengalihkan energi Anda dari “mengejar” menjadi “menikmati” dan “mengembangkan”.
- Ambisi Buta: Mengejar lebih banyak uang demi status, tanpa tahu untuk apa.
- Ambisi Sehat (Setelah ‘Cukup’): Menggunakan sumber daya yang ada untuk belajar hal baru, memperdalam hubungan, atau berkontribusi pada komunitas. Pertumbuhan yang didasari oleh keinginan internal, bukan tekanan eksternal.
Mencapai titik “cukup” memungkinkan Anda untuk mengganti pertanyaan dari “Apa lagi yang bisa saya dapatkan?” menjadi “Apa yang bisa saya lakukan dengan apa yang sudah saya miliki?”.
Paradoks “cukup” bukanlah masalah yang bisa diselesaikan dengan satu jawaban. Ia adalah sebuah dialog seumur hidup dengan diri sendiri. Ia meminta kita untuk berhenti sejenak dari hiruk pikuk dunia dan bertanya: “Apakah tangga yang sedang kudaki ini bersandar pada dinding yang tepat?”
Menemukan kepuasan bukan tentang menurunkan standar, melainkan tentang menyelaraskan standar kita dengan nilai-nilai terdalam kita. Ini tentang memiliki keberanian untuk berkata, “Untuk saat ini, di sini, ini sudah cukup. Aku utuh. Aku bersyukur.” Dan dari titik kedamaian itulah, pertumbuhan yang paling otentik justru dimulai.
+ There are no comments
Add yours